
Pada awal tahun 2018, pemerintah menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan imbuhan pakan ternak, yaitu Antibiotic Growth Promoters (AGP) dan Ractopamine. Residu AGP dari hasil produksi ternak dikhawatirkan dapat menyebabkan resistensi pada manusia yang mengonsumsi daging atau telur. Pelarangan penggunaan AGP berdampak pada meningkatnya penyakit pada ternak unggas, baik petelur maupun pedaging, sehingga menurunkan produktivitas secara signifikan.
Antibiotik dalam dunia perunggasan memiliki beberapa peran utama, yaitu:
- Terapeutik: Diberikan kepada hewan yang sakit agar sembuh dari infeksi agen penyakit.
- Metafilaksis (kontrol): Diberikan kepada hewan yang berada di daerah dengan kasus penyakit untuk mengurangi penyebaran infeksi.
- Profilaksis (pencegahan): Diberikan kepada hewan sehat untuk memberikan proteksi agar tidak terkena penyakit.
- Antibiotic Growth Promoter (AGP): Diberikan untuk mengeliminasi bakteri merugikan di saluran pencernaan guna meningkatkan bobot badan serta rasio konversi pakan yang lebih baik.
AGP diberikan pada unggas dengan dosis sub-terapeutik atau di bawah dosis normal untuk terapi. Target utama AGP adalah bakteri di permukaan saluran pencernaan, sehingga dosis rendah diharapkan tidak terdistribusi ke organ dalam dan tidak meninggalkan residu pada daging dan telur. Kelarutan antibiotik juga memengaruhi distribusinya dalam tubuh. Misalnya, Flavomisin yang larut dalam air tidak diserap tubuh sehingga tidak memerlukan waktu henti (withdrawal time), sedangkan Oksitetrasiklin yang larut dalam lemak tetap diserap tubuh dan memerlukan waktu henti agar residu hilang.
WHO telah mengupayakan pengurangan penggunaan antibiotik secara berlebihan dalam peternakan dan perikanan. Di Indonesia, larangan penggunaan pakan yang dicampur hormon atau antibiotik imbuhan pakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014. Meskipun regulasi ini telah diberlakukan, hingga saat ini antibiotik imbuhan pakan belum sepenuhnya dihilangkan karena dapat menyebabkan dampak besar bagi industri perunggasan, seperti meningkatnya konversi pakan dan tingginya angka kematian akibat Necrosis Enteritis.
Pelarangan AGP dilakukan karena tingginya kejadian resistensi bakteri terhadap berbagai jenis antibiotik, termasuk antibiotik yang dirancang untuk menangani bakteri multi-resisten. Contoh kasus infeksi yang sulit diobati adalah Vancomycin-resistant Enterococci (VRE) dan Carbapenem-resistant Enterobacteriaceae (CRE). AGP juga dapat menyebabkan resistensi silang antar antibiotik dalam satu golongan. Misalnya, penggunaan Virginiamisin pada hewan dapat menyebabkan resistensi terhadap Quinupristin/Dalfopristin, antibiotik second-line pada manusia, karena keduanya termasuk dalam golongan Streptogramin.
Regulasi penggunaan AGP di berbagai negara berbeda-beda. Amerika Serikat dan Kanada melarang penggunaan antibiotik yang penting bagi manusia sebagai AGP. WHO menetapkan daftar antibiotik vital bagi manusia, seperti Avoparcin yang tergolong dalam golongan Glikopeptida (seperti Vancomisin) dan dilarang sebagai AGP. Sementara itu, antibiotik yang tidak digunakan pada manusia, seperti Flavofosfolipol (Flavomisin/Bambermisin) atau Ionofor, masih diperbolehkan sebagai AGP. Di Eropa, sejak 1 Januari 2006, semua antibiotik sebagai Growth Promoter dilarang, termasuk Flavomisin. Namun, Ionofor masih diperbolehkan untuk unggas guna mengatasi koksidiosis dan Necrosis Enteritis (NE), meskipun penggunaannya pada ruminansia dilarang karena fungsinya lebih sebagai AGP.
Saat ini, banyak alternatif pengganti AGP yang telah dikembangkan oleh produsen obat, seperti enzim, minyak esensial, asam organik, probiotik, dan prebiotik, yang terbukti dapat mengeliminasi bakteri merugikan di saluran pencernaan. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada perbaikan mutu pakan di feedmill dan manajemen peternakan. Perbaikan kecernaan pakan dan pengelolaan amonia di peternakan dapat mendukung pengganti AGP dalam mengontrol flora di saluran pencernaan unggas.
Pada akhirnya, AGP memang memberikan manfaat bagi unggas, tetapi karena dampak negatifnya terhadap manusia, penggunaannya sebaiknya dikembalikan hanya untuk keperluan terapeutik. Penerapan alternatif AGP, perbaikan kualitas pakan, serta manajemen peternakan harus dilakukan secara holistik untuk menjaga performa unggas tetap optimal meskipun AGP telah dilarang. Pengawasan penggunaan antibiotik pada hewan juga perlu diperketat melalui peran dokter hewan (antibiotic stewardship). Dengan pemahaman yang lebih baik tentang antibiotik, dokter hewan dapat memberikan pengobatan yang akurat dan tepat guna, sehingga resistensi silang dapat ditekan secara efektif.